BAB Sembarangan, Indonesia menjadi negara kedua tertinggi di dunia
Buang air besar (BAB) sembarangan di laut, sungai, atau daratan merupakan masalah kesehatan dan sosial yang perlu mendapatkan perhatian khusus.Pasalnya, kebiasaan buruk yang masih dilakukan oleh sekitar 63 juta penduduk di Indonesia ini sangat berdampak pada sanitasi dan kesehatan lingkungan.
Menurut data Unicef, sanitasi dan prilaku kebersihan yang buruk, serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh dunia.
“Masalahnya adalah setelah BAB biasanya mereka tidak cuci tangan, atau kotorannya dihinggapi lalat dan akhirnya ke makanan. Penduduk Indonesia juga masih banyak yang memanfaatkan air sungai yang tercemar untuk kebutuhan sehari-hari sehingga mengakibatkan diare. Bahkan bukan hanya anak-anak saja, orang dewasa juga bisa meninggal akibat diare,” kata Claire Quillet, Wash Specialist dari Unicef Indonesia kepada Beritasatu.com di Jakarta, Rabu(28/8).
Di Indonesia sendiri, diare masih menjadi penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menyebutkan, diare adalah penyebab 31 persen kematian anak usia antara satu bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak usia antara satu sampai empat tahun.
Selain itu, angka diare juga lebih tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga yang melakukan BAB di sungai atau selokan dibanding mereka yang menggunakan fasilitas toilet pribadi atau septik tank.
Kebiasaan Buruk yang Sulit Diubah
Karena itu, Claire mengingatkan untuk selalu menjaga kebersihan. “Banyak yang BAB sembarangan karena memang sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah, atau memang karena tidak adanya toilet di tempat mereka. Kebiasaan ini memang sangat buruk, tapi minimal mereka harus cuci tangan pakai sabun. Bila mencuci tangan secara tepat dengan sabun di tiga waktu penting seperti sebelum makan, setelah dari toilet dan setelah mengganti popok bayi, kasus diare bisa berkurang sebesar 42 sampai 47 persen,” jelasnya panjang lebar.
Di Indonesia, jumlah orang yang BAB di sembarang tempat menempati peringkat kedua tertinggi di dunia setelah India. Kasus yang paling banyak terdapat di Indonesia bagian timur dari NTT sampai Papua. Bahkan tidak hanya orang miskin di pedesaan, orang kaya di perkotaan pun melakukan praktik BAB sembarangan.
“Kalau di Jakarta atau daerah perkotaan, kebiasaan ini lebih karena tidak adanya lahan untuk membangun WC di rumah mereka karena terlalu padat. Jadi mereka lebih memilih BAB di sungai, karena lebih gampang daripada mencari toilet umum yang harus bayar. Bahkan toilet umum itu pun membuang kotorannya lewat pipa-pipa ke sungai, jadi sebetulnya tidak ada bedanya,” kata Claire.
BAB di WC cemplung juga dikategorikan sebagai praktik BAB sembarangan karena kotorannya masih masuk ke dalam air. “Walaupun itu disebut WC, tapi kotorannya tetap saja masuk ke sungai, sementara masyarakat kita masih banyak yang memanfaatkan air sungai untuk kegiatan sehari-hari,” jelas dia.
Di daerah perkotaan sendiri, kontaminasi fases terhadap tanah dan air merupakan hal yang umum terjadi. Sumber air untuk kebutuhan sehari-hari juga sangat dekat dengan septik tank atau pembuangan toilet. “Kondisi ini berkontriobusi besar terhadap penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kematian anak akibat diare,” ujar dia.
Selain menyebabkan kematian, diare yang berulang juga menyebabkan gizi buruk, sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka. Pada akhirnya, kondisi ini menimbulkan dampak yang serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa mendatang.
Buang air besar (BAB) sembarangan di laut, sungai, atau daratan merupakan masalah kesehatan dan sosial yang perlu mendapatkan perhatian khusus.Pasalnya, kebiasaan buruk yang masih dilakukan oleh sekitar 63 juta penduduk di Indonesia ini sangat berdampak pada sanitasi dan kesehatan lingkungan.
Menurut data Unicef, sanitasi dan prilaku kebersihan yang buruk, serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh dunia.
“Masalahnya adalah setelah BAB biasanya mereka tidak cuci tangan, atau kotorannya dihinggapi lalat dan akhirnya ke makanan. Penduduk Indonesia juga masih banyak yang memanfaatkan air sungai yang tercemar untuk kebutuhan sehari-hari sehingga mengakibatkan diare. Bahkan bukan hanya anak-anak saja, orang dewasa juga bisa meninggal akibat diare,” kata Claire Quillet, Wash Specialist dari Unicef Indonesia kepada Beritasatu.com di Jakarta, Rabu(28/8).
Di Indonesia sendiri, diare masih menjadi penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menyebutkan, diare adalah penyebab 31 persen kematian anak usia antara satu bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak usia antara satu sampai empat tahun.
Selain itu, angka diare juga lebih tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga yang melakukan BAB di sungai atau selokan dibanding mereka yang menggunakan fasilitas toilet pribadi atau septik tank.
Kebiasaan Buruk yang Sulit Diubah
Karena itu, Claire mengingatkan untuk selalu menjaga kebersihan. “Banyak yang BAB sembarangan karena memang sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah, atau memang karena tidak adanya toilet di tempat mereka. Kebiasaan ini memang sangat buruk, tapi minimal mereka harus cuci tangan pakai sabun. Bila mencuci tangan secara tepat dengan sabun di tiga waktu penting seperti sebelum makan, setelah dari toilet dan setelah mengganti popok bayi, kasus diare bisa berkurang sebesar 42 sampai 47 persen,” jelasnya panjang lebar.
Di Indonesia, jumlah orang yang BAB di sembarang tempat menempati peringkat kedua tertinggi di dunia setelah India. Kasus yang paling banyak terdapat di Indonesia bagian timur dari NTT sampai Papua. Bahkan tidak hanya orang miskin di pedesaan, orang kaya di perkotaan pun melakukan praktik BAB sembarangan.
“Kalau di Jakarta atau daerah perkotaan, kebiasaan ini lebih karena tidak adanya lahan untuk membangun WC di rumah mereka karena terlalu padat. Jadi mereka lebih memilih BAB di sungai, karena lebih gampang daripada mencari toilet umum yang harus bayar. Bahkan toilet umum itu pun membuang kotorannya lewat pipa-pipa ke sungai, jadi sebetulnya tidak ada bedanya,” kata Claire.
BAB di WC cemplung juga dikategorikan sebagai praktik BAB sembarangan karena kotorannya masih masuk ke dalam air. “Walaupun itu disebut WC, tapi kotorannya tetap saja masuk ke sungai, sementara masyarakat kita masih banyak yang memanfaatkan air sungai untuk kegiatan sehari-hari,” jelas dia.
Di daerah perkotaan sendiri, kontaminasi fases terhadap tanah dan air merupakan hal yang umum terjadi. Sumber air untuk kebutuhan sehari-hari juga sangat dekat dengan septik tank atau pembuangan toilet. “Kondisi ini berkontriobusi besar terhadap penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kematian anak akibat diare,” ujar dia.
Selain menyebabkan kematian, diare yang berulang juga menyebabkan gizi buruk, sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka. Pada akhirnya, kondisi ini menimbulkan dampak yang serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa mendatang.